tahupembuatan patung berbahan seperti pada umumnya memerlukan biyaya produksi yang cukup tinggi, maka material daur ulang (recycle) akan menjadi salahsatu solusi untuk pengganti bahan-bahan pembuatan patung pada umumnya. Bahan-bahan daur ulang yang dipergunakan dalam pembuatan karya patung ini yaitu kardus bekas dan olahan kertas E PEMBUATAN NUGGET. 1. Bahan Utama Pembuatan Nugget. Nugget merupakan suatu bentuk produk olahan daging yang terbuat dari daging giling yang dicetak dalam bentuk potongan empat persegi dua yang dilapisi dengan bahan pelapis, digoreng setengah matang, kemudian dibekukan. Nugget umumnya dibuat dari daging, bahan pengisi, bahan pengikat, bahan Ukirantembus (lubang) ini disebut ukiran kerawang. Media (bahan dan alat) yang digunakan untuk membentuk seni kriya ukiran antara lain : 1. Bahan : - Batu andesit, batu granit, batu pualam, batu cadas. - Kayu Jati, kayu mahoni, kayu waru, kayu randu atau kapuk, kayu cendana, kayu meh, bambu. 2. ProsesPembuatan Bahan Baku Garam. Sudah tidak bisa dipungkiri bahwa garam adalah salah satu barang yang paling penting untuk kita semua. Karena baik sadar atau tidak, kita semua pasti memakai barang-barang yang mengandung garam. Baik itu makanan, sabun, baju, dll pasti mengandung atau pernah berinteraksi dengan garam. MENGENALBAHAN BILAH BAJA BUAT PISAU. Ini hanya sebagai ulasan bila ada kekurangan mohon di maafkan, sedikit berbagi ilmu. Di indonesia banyak jenis-jenis pisau baik traditional maupun udah modern, dan dari bahan bilah baja pun bermacam-macam, mulai dari product SUP, Hitachi, ASSAB steel, BOHLER, dan AISI, alias kode product ada yang pake Selainuntuk pengawet alami, akar serai wangi juga bisa dijadikan sebagai minyak wangi. 5. Eceng Gondok. Satu lagi bahan yang bisa digunakan sebagai bahan dasar ketika ingin membuat tenun, yaitu eceng gondok. Tenun eceng gondok ini banyak ditemui di daerah Pekalongan dengan kisaran harga Rp10.000 per meternya. . O ecstasy Ă© tomado normalmente por via oral em comprimidos, pĂ­lulas ou cĂĄpsulas. Tomar mais de um comprimido de ecstasy por vez Ă© chamado de “bumping” nos EUA. O ecstasy Ă© uma droga sintĂ©tica artificial fabricada em laboratĂłrio. Os fabricantes podem adicionar Ă  droga qualquer coisa que escolham, tal como cafeĂ­na, anfetamina1 e atĂ© mesmo cocaĂ­na. O ecstasy Ă© uma droga ilĂ­cita e os seus efeitos sĂŁo semelhantes aos dos alucinĂłgenos e estimulantes. Os comprimidos sĂŁo de cores diferentes e algumas vezes sĂŁo estampados com desenhos. Misturar ecstasy com ĂĄlcool Ă© extremamente perigoso e pode, de fato, ser mortal. Os efeitos estimulantes de drogas como o ecstasy fazem o usuĂĄrio dançar por vĂĄrias horas e quando se combinam com os locais quentes e lotados das raves, podem levar Ă  desidratação extrema e insuficiĂȘncias cardĂ­aca e renal. Efeitos a curto prazo Desmaios, calafrios ou suores, tensĂŁo muscular, raciocĂ­nio prejudicado, depressĂŁo, visĂŁo embaçada, problemas para dormir, falsa sensação de afeto, nĂĄusea, ansiedade extrema, fissura pela droga, ranger involuntĂĄrio dos dentes, confusĂŁo, paranoia2. Efeitos a longo prazo O uso prolongado causa danos cerebrais duradouros e talvez permanentes que afetam a capacidade de discernimento e raciocĂ­nio da pessoa. “O ecstasy me enlouqueceu. Um dia mordi um copo como se fosse uma maçã. Tive que ter a boca cheia de cacos de vidro para perceber o que estava acontecendo comigo. Outra vez, rasguei trapos com os dentes durante uma hora.” — Ann Ecstasy / Inex Inex adalah sebutan umum dari pil ecstasy. Pil ini mulai menjadi trend dikonsumsi di discotik2 di Indonesia sejak tahun 1990-an. Pada mulanya pil ini hanya diimport dari negara Belanda saja dan kandungan senyawanya pun masih asli yaitu MDMA MethyleneDioxyMethAmphetamine, sekarang pil2 inex ini sudah banyak yg diproduksi secara ilegal di dalam negeri. Senyawa MDMA ini mengakibatkan efek2 psikologis sebagai berikut 1. perasaan senang yg luar biasa 2. hilangnya permusuhan dan rasa ketidak amanan 3. rasa intimasi antara satu sama lainnya sehingga disebut juga love drug 4. rasa empati dan simpati antara satu dengan yg lainnya 5. rasa damai dalam hati dan dihargai oleh orang lain serta meningkatkan percaya diri 6. sensitif terhadap nada, suara, berbagai macam bunyi2an sehingga dapat menikmati musik 7. sensitif dan menikmati sentuhan satu sama lainnya 8. distorsi pandangan 9. energetik yg luar biasa 10. kebiasaan untuk menggeleng2kan kepala dengan kencang godek supaya menghasilkan rasa “on” yg lebih tinggi Sedangkan efek2 fisiknya 1. dehidrasi serta berkurangnya proses urinasi 2. meningkatnya suhu tubuh dan banyak berkeringat 3. meningkatnya detak jantung dan tekanan darah 4. gerakan pupil dan iris yg tidak terkendali tertarik ke atas mata 5. gerakan rahang yg selalu mengigit dan bergesekan 6. sensitif terhadap temperatur sekelilingnya 7. berkurangnya nafsu makan tidak semua pemakai merasakan ini MDMA menyebabkan kecanduan secara psikologis pada sebagian besar pemakainya dan tidak pada segelintir orang yg lainnya, kemungkinan hal ini disebabkan oleh efek “bad trip” yg mungkin terjadi pada orang2 tertentu sehingga membuat mereka jera untuk mengkonsumsinya kembali di lain waktu. Akan tetapi jika seseorang sudah merasakan “high” maka pada saat efek dari MDMA ini mulai drop ia akan merasakan “emosi yg remuk” dan mulai memikirkannya untuk mengkonsumsinya kembali segera atau dalam jangka waktu tertentu misalnya week-end berikutnya. Pengkonsumsian MDMA secara rutin dapat dipastikan akan terus meningkatkan toleransinya terhadap dosis yg harus dipakai bahkan pada suatu saat ia akan mulai merasakan efek “magic” dari pil ini yg mulai menghilangkan seberapapun banyaknya dosis MDMA yg telah dikonsumsinya. Efek drop dari MDMA dalam jangka pendek mengakibatkan depresi/emosi yg remuk dimulai dari 1-2 hari setelah pemakaian dan bisa mencapai hingga 4-7 hari sesudahnya, menjadi sering kaget ketika tertidur, terganggunya ingatan jangka pendek short-term memory, sulit berkonsentrasi, penglihatan yg berbayang, dan jaw clenching gigi yg rasanya selalu terikat dan ingin bergesekan terus menerus. Sedangkan efek pemakaian jangka panjang mengakibatkan terganggunya fungsi hormon serotonin dan dopamine di dalam otak, terganggunya pula fungsi keseimbangan temperatur tubuh, menjadi sangat pelupa, tidak mampu belajar dan konsentrasi, sulit untuk mengambil keputusan, emosi menjadi labil mudah panik, paranoia, dan tahun 1995 dimulailah beredar pil2 inex di pasaran yg kandungannya sudah bukan lagi MDMA murni atau bahkan sama sekali tidak mengandung MDMA melainkan senyawa lain yaitu MDEA eve 3,4-methylenedioxy-N-ethylamphetamine, MDA adam 3,4-methylenedioxyamphetamine, DXM dextromethorphan/bahan obat batuk, ketamine, PCP Phencyclidine, GHB gamma-hydroxy butyric acid, LSD, methamphetamine shabu, ephedrine bahan obat batuk, caffein, methylsalicylate bahan pengharum ruangan yg sifatnya toxic, paracetamol, aspirin, cocaine, bahkan bahan yg sangat berbahaya yaitu PMA paramethoxyamphetamine. Berbeda dari MDMA, MDEA dan MDA bisa menghasilkan efek halusinasi dan tidak mencapai tingkatan euphoria seperti yg dihasilkan MDMA. Sedangkan DXM, ketamine, dan PCP merupakan zat2 yg bersifat halusinasi dissociative dan mengakibatkan si pemakai tidak bisa mengendalikan dirinya ketika ia mengalami halusinasi karena terputusnya fungsi kesadaran otak dengan fungsi otak bagian lainnya sehingga ia susah untuk membedakan mana yg nyata dan mana yg tidak nyata. PMA merupakan bahan pencampur/pengganti yg sangat berakibat fatal dan cenderung membuat si pemakai overdosis karena efek “on” yg dihasilkannya terlambat ketimbang MDMA sehingga membuatnya akan mengkonsumsinya lagi atau menambah pil lain yg mengandung MDMA. Overdosis PMA yg dikonsumsi bersamaan dengan MDMA mengakibatkan meningkatnya suhu tubuh secara drastis sehingga sering menyebabkan kematian yg dihasilkan dari hyperthermia temperatur tubuh yg terlalu panas. Akan tetapi bagi para pencandu berat inex yg sudah tidak bisa lagi merasakan efek “magic” dari MDMA murni akan mulai dengan sengaja mencampur pengkonsumsiannya antara pil2 yg mengandung MDMA murni dengan pil2 lain yg sudah diketahui mengandung Ketamine / DXM / PCP / LSD, oleh karena bahan2 pemalsu ini yg mampu mengangkat efek “on” dari MDMA murni menjadi lebih tinggi dari normal. Ciri2 “on” dari inex campuran ini antara lain 1. sudah tidak lagi bisa berhura2 dan berjoget2 riang akan tetapi tetap duduk di bangku 2. sudah tidak lagi menggeleng2kan kepalanya dengan kencang melainkan hanya dengan pelan atau termangut2 saja 3. terkadang hanya terdiam kaku di bangku seperti terbengong2 oleh karena halusinasi yg sangat nyata 4. jauh lebih cepat mengalami overdosis dibanding para pemakai MDMA murni DXM Dextromethorphan / robo-trip DXM adalah senyawa sintetik yg terkandung di dalam berbagai jenis obat batuk yg bersifat antitussive yaitu jika dikonsumsi dalam dosis yg tepat maka zat ini mampu meredam batuk. Akan tetapi penggunaannya banyak disalahgunakan dengan cara mengkonsumsi lebih dari dosis yg dianjurkan. Serupa dengan senyawa PCP dan Ketamine, jika DXM dikonsumsi melebihi dosis yg dianjurkan senyawa ini juga bersifat halusinogen dissociative, yaitu dibloknya fungsi kesadaran di dalam otak dan saraf sehingga akan membuat si pemakainya berhalusinasi dan merasakan seperti berada di dalam dunia mimpi dan sukar membedakan antara nyata atau tidaknya halusinasi tersebut. Berbeda dengan halusinasi yg diakibatkan oleh LSD lysergic acid diethylamide si pemakainya masih mampu mengontrol tingkat kesadarannya, seperti halnya dia masih bisa mengingat akan siapa dirinya bahkan siapa namanya, sedangkan pada DXM, PCP, dan Ketamine tidak. Efek2 yg disebabkan oleh DXM jika dipakai melebihi dosis yg dianjurkan meliputi 1. halusinasi dissociative 2. gembira excited atau kebalikannya 3. berkeringat banyak 4. nafas jadi pendek 5. berada dalam kondisi antara tidur dan sadar 6. mual dan muntah2 7. pendengaran yg menjadi seperti berombak2 8. tekanan darah yg menjadi tinggi 9. jantung yg berdebar2 10. amnesia 11. tidak bisa mengenal kata2 dan objek yg terlihat 12. paranoid dan merasakan seperti akan mati 13. koma bahkan kematian DXM juga PCP dan Ketamine merupakan jenis bahan pengganti/pemalsu/pencampur yg sering ditambahkan ke dalam pil ecstasy yg beredar di pasaran karena bahan ini jauh lebih mudah didapat dan harganya yg lebih murah ketimbang bahan asli dari ecstasy yaitu MDMA MethyleneDioxyMethAmphetamine. Pada kenyataannya tahap overdosis yg dihasilkan dari pemakaian DXM jauh lebih cepat dibanding MDMA sendiri. Overdosis DXM dapat mengakibatkan kematian oleh karena terhentinya otak mengirim sinyal ke paru2 agar tetap bernafas. DXM juga menyebabkan ketagihan secara psikologi dan toleransi terhadap dosis pemakaian dari waktu ke waktu. Cocaine crack cocaine Cocaine adalah salah satu senyawa yang terdapat dalam daun tumbuhan coca yg tumbuh di dataran benua Amerika. Proses pemurnian senyawa tersebut menghasilkan bubuk cocaine hydrochloride murni yg mudah larut ke dalam air. Pemakaian cocaine hydrochloride menyebabkan terhalangnya penyerapan kembali hormon dopamine, serotonin, dan noradrenaline yg sudah dilepaskan di dalam otak oleh sel2 sinapsis sehingga kadar dari hormon2 tersebut di dalam otak akan meningkat secara drastis. Peningkatan dari hormon2 tersebut menyebabkan perasaan “high”, hilangnya rasa sakit, lapar, dan letih/ngantuk, menambah konsentrasi, rasa percaya diri, dan perasaan euphoria/senang. Oleh karena bubuk cocaine hydrochloride mudah larut ke dalam air maka pemakaian dari bubuk cocaine pada umumnya meliputi 1. disedot menggunakan hidung 2. dimakan 3. digosokan di sekitar gusi mulut 4. disuntik Pemakaian cocaine dapat dipastikan mengakibatkan toleransi dan kecanduan, karena pada saat efek dari cocaine itu “drop” si pemakaian akan merasakan tidak nyaman dan depresi sehingga memaksa ia berusaha untuk memakainya kembali. Pemakaian jangka panjang dapat mengakibatkan 1. tidak menentunya denyut jantung 2. halusinasi 3. paranoid 4. tekanan darah tinggi Kombinasi antara cocaine, rokok dan alkohol akan menambah rasa euphoria pada si pecandu, tidak heran mereka akan terus menerus menghisap rokok dan minum minuman beralkohol tinggi pada saat mereka menggunakan cocaine sehingga dengan demikian para pecandu cocaine akan sangat beresiko terkena serangan jantung, stroke, gagal ginjal, bahkan kematian. Sedangkan crack adalah cocaine hydrochloride yg telah diproses menggunakan baking soda sehingga menghasilkan freebase amine/bentuk dasar amina cocaine yg tidak dapat larut dalam air sehingga pemakaiannya hanya cocok dengan cara dihisap seperti rokok. Efek psikologis dari crack jauh lebih kuat ketimbang cocaine hydrochloride akan tetapi sering membuat jiwa si pemakai merasakan ganjil aneh sehingga sering membuatnya berubah menjadi brutal. Tingkat kecanduan dari crack jauh melebihi cocaine hydrochloride bahkan crack merupakan salah satu dari jenis narkoba yg paling membuat kecanduan dan toleransi pada pemakainya. Mereka yg memakainya akan selalu berusaha untuk mencapai “high” & euphoria seperti sebelumnya sehingga akan terus menambah dosisnya dari hari ke hari sampai pada akhirnya mengakibatkan kematian yg disebabkan oleh overdosis. Walaupun demikian sebenarnya kadar senyawa cocaine dari daun tumbuhan coca itu sendiri sangat kecil persentasenya sekitar sehingga untuk menghasilkan 1gram bubuk cocaine hydrochloride murni dibutuhkan 500gram daun coca. Daun coca sendiri sudah lama dimanfaatkan oleh suku Indian Andes sebagai tanaman obat yg dapat menyembuhkan penyakit kekurangan oksigen yg diakibatkan oleh tipisnya oksigen di dataran tinggi dan menyembuhkan penyakit pada pencernaan dengan cara diseduh lalu diminum seperti teh atau dikunyah. Mereka juga mengunyah daun coca sebagai obat alami anesthesia peredam rasa sakit ketika mereka terluka oleh panah pada saat berperang. Pemakaian daun coca dengan cara diseduh maupun dikunyah tidak dapat menimbulkan perasaan “high” pada si pemakai dan juga tidak pernah terbukti mengakibatkan kecanduan. Bahkan pada tahun 1980 telah ditemukan oleh ilmuwan bahwa daun coca bisa dipakai sebagai obat untuk menyembuhkan kecanduan dari para pecandu crack dan cocain. Popok bayi terbuat dari plastik dan campuran bahan kimia untuk menampung sisa-sisa metabolisme seperti air seni dan feses. Solusi dalam memanfaatkan limbah popok adalah dengan cara memanfaatkan hidrogel dan plastik yang terdapat di popok. Plastik yang terdapat di popok dapat dimanfaatkan menjadi suatu bahan konstruksi ringan antara lain berupa paving block karena untuk meningkatkan kuat tekan. semen dan pasir untuk dicetak menjadi balok block merupakan suatu komposisi bahan bangunaan yang dibuat dari campuran semen portland atau bahan perekat hidrolis sejenisnya, air, dan agregat dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya yang tidak mengurangi mutu beton itu. Bata beton dapat bewarna seperti warna aslinya atau diberi zat warna pada komposisinya dan digunakan untuk halaman baik di dalam maupun di luar bangunaan SNI 03-0691-1996. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui nilai uji Kuat Tekan dan Penyerapan Air pada penambahan limbah popok terhadap Paving Block. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Rancangan penelitian ini menggunakan Metode Regresi untuk mengetahui bagaimana pengaruh variasi campuran limbah popok yang bagus dalam pembuatan Paving Block. Bahan baku campuran semen, pasir, dan limbah popok. Perbandingan komposisi pasir dan limbah popok adalah 1PC 4PS 0P, 1PC 4PS 1PC 4PS 1P, 1PC 4PS 1PC 4PS 2P, 1PC 4PS 1PC 4PS penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan antara variasi terhadap nilai kuat tekan yang dihasilkan. Namun ada pengaruh penambahan limbah popok bayi dalam paving block pada variasi terbaik dan memenuhi kuat tekan yang dikategorikan kedalam paving block mutu B yaitu pada variasi 1PC4PS0,5P dengan nilai kuat tekan 183,33 Kg/cm2, 1PC4PS1P dengan nilai kuat tekan 225,00 Kg/cm2, dan 1PC4PS2P dengan nilai kuat tekan 175,00 Kg/cm2, Pada mutu C pada variasi 1PC4PS1,5P dengan nilai kuat tekan 151,67 Kg/cm2, 1PC4PS2,5P dengan nilai kuat tekan 145,00 Kg/cm2, dan 1PC4PS3P dengan nilai kuat tekan 135,00 Kg/cm2. Pada daya serap air pada masing–masing perbandingan popok bayi pada Paving Block tidak memenuhi standar SNI 03-0691 1996. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free A preview of the PDF is not available ... Based on research Pasaribu et al. 2020 related to the use of baby diaper waste as a mixed material for making paving blocks, the resulting compressive strength is good, which is at least 35 MPa. What is obtained is paving block based on SNI 03-0691-1996. ...Nurul MawaddahFebrian Rahmat Adias PutraBersinar waste bank is one of the waste management units in Bandung. The Bersinar waste bank is a solution to reduce waste generation at the sarimukti TPA, Bandung. Waste managed by Bersinar waste bank is in the form of organic and inorganic waste. This study aims to identify the methods of processing waste and processing products at the bersinar waste bank in Bandung. This research is qualitative research. The stages of this research are problem identification, literature review, determination of research aims and objectives, data collection, data analysis and interpretation, and reporting. This research data collection is divided into two, namely primary data observation and secondary data obtained from books or scientific journals literature review. The results of the identification of waste processing methods at the bersinar waste bank can be concluded that the bersinar waste bank uses physical, biological, and thermal methods. The first method to reduce waste is to process organic waste using maggot technology as a decomposer of organic waste into compost. the second method is the use of a bottle press to produce a cube of bottle waste. The third method is processing used baby diaper waste using a hydrothermal reactor machine and processing it into fibre to produce pock brick.... The result study of Kusuma 2013 showed that from the average compressive strength test it can be known that the mixture of the strongest carbide welding waste as the cement mixture for paving block making is at 47% mixture, while for the result of the smallest water absorption test is at 40% and for the greatest yield there is in the 37% mixture. Research conducted by Hartono, 2009 concluded that the highest mortar compressive strength of mixed ash of organic waste and carbide waste was obtained in a mixture of 70% ash of organic waste and 30% of carbide waste at kg/cm2 at 14 days. ...Acetylene sludge comes from the production of acetylene gas which is produced in large quantities from industrial plants. Since acetylene sludge waste has a baling and mortar properties as well as lime derivative products, they can be used as substitutes or substitutes for cement in concrete products and other construction materials. The aim of this study is to obtain a concrete with a proper strength and comply the toxicity standards by utilizing acetylene sludge waste. The waste containing of 60% acetylene sludge and 40% fly ash is utilized by mixing it on some series of trial that are 5%, 10%, and 15% waste from the main concrete materials. The concrete strength is measured using Compressive Strength Test Method that refers to Indonesian National Standard No. 19742011. Other than that, Toxicity Characteristic Leaching Procedure TCLP test were also done using Optical Emission Spectrometer to determine the leaching potential from concrete utilization. The concrete paste gave the value of slump 6 and 7 with concrete mixture declined by 15-18 cm. Result showed that the strongest concrete is from the mixture of 15% sand material that was substituted by the acetylene sludge waste with the strength value of MPa. TCLP test results were given the value of Barium mg/L and Chromium mg/L with a pH value of Referring to Indonesian Government Regulation No. 101 Year 2014, the quality standards of Barium and Chromium are 35 mg/L and mg/L. That showed the characteristic of concrete which is produced from acetylene sludge waste complies the standards and safe for the WidiatningrumTK Wiji is a nursery school which was built at Jl. Untung Suropati no. 10 kelurahan Tegalrejo kota Pekalongan based on NPSN 69879295 of 2005 by Yayasan 99. TK Wiji is growing fast due to its education system which is in line to the 2013 national curriculum with the vision of toodler characteristic development. The most fundamental of character education is environment education. Considering to this situation, we have found that the most common litter of the nursery is disposable diaper. This kind of diaper is hardly degraded into its monomer. Colon’s research in 2013 has found a strategy to use this diaper as compost. Based on the problem of disposable diaper wastes in the nursery and also the result of the background research about exploiting the waste as compost , then the environment education for toodler of TK Wiji by using diaper waste as a material for hidroponic cultivation was done. In the beginning, guidances were given to the teacher in 2 phases which are making diaper waste composite into organic fertilizer and making hidrogel for interior plant cultivation by using the gel of the waste. In the next step, the teachers were asked to make improvisation regarding toodler environment education by using the skills. In spite of this, there was still an argument about the time management in the learning process by using diaper waste as the material. Thus an implementation of the skill for toodler extracuricular was Abu Bakar Pembakaran Sampah Sebagai Bahan Alternatif Pembuatan Paving BlockAnis ArtiyaniArtiyani, Anis. 2002. Pemanfaatan Abu Bakar Pembakaran Sampah Sebagai Bahan Alternatif Pembuatan Paving Block, Badan Standar Nasional Indonesia. 1996. SNI 03-0691-1996. 1996 tentang Bata Beton paving block.Semen Portland PT. Semen Baturaja PerseroManiso BudiawanBudiawan, Semen Portland PT. Semen Baturaja Persero.Modul Pelatihan PembuatanUbin Atau Paving Blok Dan Batako. Kantor Perburuhan International ILOClaudia MĂŒllerEva FitrianiClaudia MĂŒller, Eva Fitriani, Halimah, dan Ira Febriana. 2006. Modul Pelatihan PembuatanUbin Atau Paving Blok Dan Batako. Kantor Perburuhan International ILO. JakartaPerbandingan Kuat Tekan Paving Block Ramah Lingkungan Kuipers, 1984. Commonsense Reasoning about Causality Deriving Behavior from StructureB HackleHackle, B. 1980 Performance of Interlocking Block Pavement Under Accelerated Trafficing. Proceeding of First International. Indah dan Kuat Tekan Paving Block Ramah Lingkungan Kuipers, 1984. Commonsense Reasoning about Causality Deriving Behavior from Structure. Artificial Intelligence 24 Mengurus Segala Kebutuhan Dan Masalah Bayi Sehari-Hari AndaSri NurhayatiMariyamSri Nurhayati, Mariyam. 2010. Optimal Mengurus Segala Kebutuhan Dan Masalah Bayi Sehari-Hari Anda. Garailmu Beton, Biro Penerbit Teknik Sipil Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil dan LingkunganK TjokrodimuljoTjokrodimuljo, K., 2007, Teknologi Beton, Biro Penerbit Teknik Sipil Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID hj2zbdOwN7W4LtHbIZ0giSrTYXK3v_XN6iWqDC39qAyOFAscG_4XKQ== This study aimed to create nano vegetable tanning materials of acacia bark extract. The process started with size reduction of acacia bark mm x mm x mm, followed by counter current extraction of acacia bark with water at 80ÂșC with 13 bark to water ratio in order to obtain extracts with density of 9-10ÂșBe. Drying was done with a spray dryer. Particle size of the resulting powders was measured with particle size analyzer. Planetary ball mill was used for 6 hours to obtain average particle size of nm. A variety of vegetable tanning materials were applied in the vegetable tanning process with varied concentrations of 15, 20, and 25%. The use of 25% nano vegetable tanning material of acacia bark extract gave the best results compared to liquid extract of acacia bark and mimosa. The properties of the leather obtained were tensile strength of kg/cm2, elongation at break of 50%, shrinkage temperature of 84oC, and degree of tannage of Content may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 15PEMBUATAN BAHAN PENYAMAK NANO ..................................... Herminiwati et al.PEMBUATAN BAHAN PENYAMAK NANO NABATI DAN APLIKASINYA DALAM PENYAMAKAN KULITMANUFACTURING OF NANO VEGETABLE TANNING MATERIALS AND ITS APPLICATION IN LEATHER TANNINGHerminiwati*, Sri Waskito, Christiana Maria Herry Purwanti, Prayitno, Dwi NingsihBalai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Jl. Sokonandi No. 9, Yogyakarta 55166, Indonesia*Penulis korespondensi. Telp. +62 274 512929, 563939; Fax. +62 274 563655 E-mail herminiwati 3 Maret 2014 Direvisi 25 Mei 2015 Disetujui 1 Juni 2015ABSTRACTThis study aimed to create nano vegetable tanning materials of acacia bark extract. The process started with size reduction of acacia bark mm x mm x mm, followed by counter current extraction of acacia bark with water at 80ÂșC with 13 bark to water ratio in order to obtain extracts with density of 9-10ÂșBe. Drying was done with a spray dryer. Particle size of the resulting powders was measured with particle size analyzer. Planetary ball mill was used for 6 hours to obtain average particle size of nm. A variety of vegetable tanning materials were applied in the vegetable tanning process with varied concentrations of 15, 20, and 25%. The use of 25% nano vegetable tanning material of acacia bark extract gave the best results compared to liquid extract of acacia bark and mimosa. The properties of the leather obtained were tensile strength of kg/cm2, elongation at break of 50%, shrinkage temperature of 84oC, and degree of tannage of Keywords vegetable tanning material, nano particle, acacia bark, extraction, planetary ball ini bertujuan untuk membuat bahan penyamak nano nabati dari ekstrak kulit kayu akasia. Proses pembuatannya dilakukan melalui tahapan pengecilan ukuran kulit kayu akasia 16,7 mm x 4,9 mm x 1,8 mm, dilanjutkan dengan ekstraksi kulit kayu akasia secara counter current menggunakan air 13 dengan suhu air awal 80ÂșC sehingga diperoleh ekstrak dengan densitas 9-10ÂșBe. Pengeringan dilakukan dengan spray dryer. Serbuk hasil spray dryer diukur partikelnya dengan particel size analyzer, kemudian diteruskan dengan pengecilan ukuran menggunakan planetary ball mill selama 6 jam sehingga diperoleh partikel berukuran rata-rata 72,9 nm. Berbagai bahan penyamak nabati diaplikasikan dalam proses penyamakan nabati pada kadar 15, 20, dan 25%. Penggunaan ekstrak nano nabati kulit kayu akasia sebesar 25% memberikan hasil terbaik dibanding ekstrak cair kulit kayu akasia maupun mimosa impor. Kulit tersamak yang dihasilkan memiliki kuat tarik sebesar 27,04 kg/cm2, kemuluran sebesar 50%, suhu kerut sebesar 84oC, dan derajat penyamakan sebesar 79,65%. Kata kunci bahan penyamak nabati, partikel nano, kulit kayu akasia, ekstraksi, planetary ball Penyamakan adalah proses konversi pro-tein kulit mentah menjadi kulit tersamak yang sta-bil, tidak mudah membusuk, dan cocok untuk be-ragam ke gunaan. Penyamakan biasanya dilakukan dengan garam basa krom trivalen. Reaksi garam-garam krom dengan grup karboksilat dari protein kulit kolagen menjadikan kulit tersebut memiliki stabi litas hidrotermal tinggi, yaitu memiliki suhu penge rutan lebih tinggi dari 100oC, dan tahan ter-hadap serangan mikroorganisme Albet, 2013.Saat ini hampir semua industri kulit dunia memproses penyamakannya dengan mengguna-kan bahan penyamak mineral krom sulfat, yang merupakan konsekuensi kemudahan proses, kelu-asan kegunaan produk, dan keunggulan dari sifat-sifat kulit yang dihasilkan Valeika et al., 2010. Namun di sisi lain bahan penyamak tersebut juga sangat berkontribusi sebagai penyebab terjadinya pencemaran lingkungan. Tidak terkecuali di In-donesia, sampai saat ini limbah hasil dari industri penyamakan kulit, dikategorikan sebagai limbah 16MAJALAH KULIT, KARET, DAN PLASTIK Vol. 31 No. 1 Juni Tahun 2015 15-22B3 yang membahayakan bagi makhluk hidup dan lingkungan. Limbah krom merupakan limbah B3 karena merupakan logam berat yang tidak dapat terdegradasi dan akan terakumulasi di dalam ta-nah. Saat ini konsumen produk kulit khususnya produk kulit ekspor mengarah pada permintaan kulit samak nabati, dengan pertimbangan pro-duknya ramah lingkungan. Bahan penyamak naba-ti secara luas digunakan untuk proses penyamakanulang pada produksi kulit upper leather dari kulit sapi, kambing, dan domba. Bahan penyamak na-bati juga digunakan sebagai bahan mordan untuk produksi kulit kras yang disamak krom. Bahan penyamak nabati merupakan senyawa organik hasil ekstrak bahan nabati dari kulit, akar, batang, daun, dan buah. Bahan-bahan penyamak tersebut berbentuk puder yang sampai saat ini ma-sih diimpor. Bahan penyamak nabati terdiri dari tanin bahan penyamak, non-tanin dan senyawa-senyawa lain yang tidak adalah campuran polifenol yang dalam tumbuhan membentuk glikosida yang jika ter-hidrolis terurai menjadi aglikon dan glikon. Tanin bersifat polar dalam bentuk glikosidanya. Tanin juga mengendap dengan protein dan logam-logam berat. Kedua sifat ini sangat berpengaruh terhadap cara ekstraksi dan identikasi senyawa tanin Su-parno et al., 2011. Bahan penyamak tanin dapat dilarutkan dalam air, alkohol, aseton, tetapi tidak larut dalam benzene, kloroform, dan pelarut or-ganik dari petroleum eter. Tanin yang dilarutkan dalam air akan bermuatan listrik negatif dan akan teroksidasi dalam larutan alkali yang berubah war-na menjadi hitam Haron et al., 2012.Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyamakan dengan menggunakan tanin meli-puti kondisi dari kulit pelt, ukuran partikel, pH, kandungan garam dan asam, dan konsentrasi ba-han penyamak Prayitno, 2013. Jumlah tanin yang menembus dan bergabung dengan bahan ku-lit, sangat dipengaruhi oleh konsentrasi nyata dari larutan penyamak yang kontak dengan serat kulit. Pada awal dari proses penyamakan jumlah tanin di larutan akan lebih tinggi dengan bahan penya-mak di dalam serat sehingga penetrasi akan lebih penyamak nabati di pasaran biasanya berbentuk puder dari hasil cairan ekstrak dengan kandungan bahan penyamak 5-7,5% dikondensa-sikan ke dalam bentuk koloid yang mempunyai berat jenis relatif 1,2-1,6 dengan menggunakan peralatan penguapan, yang dilanjutkan dengan spray dryer. Ekstrak puder bahan penyamak na-bati masih mempunyai ukuran partikel yang ma-sih besar karena bahan bakunya berbentuk koloid, dengan ukuran partikel dari 1 ”m sampai dengan 100 ”m Ardhiany, 2011. Dengan kondisi ukuran partikel besar, maka akan mempengaruhi kecepa-tan difusi bahan penyamak nabati ke dalam serat kulit, sehingga waktu proses yang diperlukan pada penyamakan nabati semakin lama dan sisa bahan penyamak nabati yang ada di limbah cair sema-kin banyak. Bahan penyamak nabati akan bereaksi dengan oksigen atmosfer, terutama pada pH yang tinggi untuk membentuk kuinon untuk kelompok gugus -OH yang bersifat orto-para satu sama lain Sreeram et al., 2013.Proses penyamakan nabati secara konvensio-nal memerlukan waktu relatif lama sehingga tidak efektif disamping juga sulit diperoleh zat penya-mak yang konsisten, padahal bahan penyamak na-bati memerlukan konsentrasi yang sesuai. Ukuran partikel bahan penyamak nabati ben-tuk puder sangat penting karena ukuran partikel yang kecil akan memberikan kecepatan proses dan difusinya. Pendekatan nanoteknologi memung-kinkan dibuatnya bahan penyamak nabati yang mempunyai partikel nano. Yang dimaksud parti-kel nano adalah partikel yang berukuran lebih ke-cil dari 100 nm. Ada dua cara pembentukan partikel nano Tauqurrahman, 2009 yaitu, pertama bottom up, material dibuat dengan menyusun dan mengon-trol atom demi atom atau molekul demi molekul sehingga menjadi suatu bahan yang memenuhi suatu fungsi tertentu yang diinginkan, kedua top down, bulk material dihancurkan dan dihaluskan sedemikian rupa sampai berukuran nano meter, kemudian dari partikel halus yang diperoleh, di-buat material baru yang mempunyai sifat-sifat dan performance yang lebih baik dan berbeda dengan bulk material ukuran dapat dilakukan dengan alat-alat seperti high energy milling HEM, pla-netary ball mill PBM, dan lain-lain. Dengan pertimbangan di atas, maka perlu diteliti pembua-tan bahan penyamak nano nabati dari bahan kulit kayu akasia karena pohon akasia mudah tumbuh di Indonesia dan mempunyai potensi yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk membuat bahan penyamak nabati yang berbentuk puder berukuran nanometer agar penetrasinya ke dalam jaringan kolagen kulit lebih baik. 17PEMBUATAN BAHAN PENYAMAK NANO ..................................... Herminiwati et al.BAHAN DAN METODEBahan Penelitian Bahan penelitian terdiri atas kulit kayu aka-sia Acacia mangium, kulit domba awet gara-man, dan mimosa puder ME Brand Cekoslovakia. Bahan kimia pengujian untuk bahan penyamak nabati yaitu Xylol, ZnSO4, NaOH, HCl, H2SO4. Bahan kimia untuk aplikasi penyamakan diantara-nya Teepol, kapur, natrium sulda, bating agent, degreasing agent, asam sulfat, garam dapur, fat-liquoring agent, asam formiat, retanning agent, dyestuff, anti jamur, pigmen, binder, lacquer emul-sion, dan PenelitianCrusher, termometer, Baume meter, pH meter, spray dryer, planetary ball mill PBM, particle size analyzer PSA, timbangan analitis, saringan, dan drum PenelitianPembuatan puder bahan penyamak nabati Kulit kayu akasia dengan panjang 5-7 cm dikecilkan ukurannya dengan menggunakan me-sin crusher dan mesin grinder hingga didapatkan kulit kayu akasia dengan ukuran kasar panjang p=16,7 mm, lebar l=4,7 mm, tebal t=1,8 mm dan ukuran halus 60 mesh. Kemudian kulit kayu akasia diekstraksi secara counter current. Dari proses ekstraksi dapat diketahui proses yang ter-baik dengan kadar tanin yang tertinggi. Pembua-tan puder hasil proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan spray dryer di Fakultas Teknologi Pertanian puder nano bahan penyamak na-batiPartikel puder hasil spray dryer diproses dengan menggunakan PBM sehingga diperoleh partikel nano lebih kecil dari 100 nm. Untuk memastikan ukuran partikel nano kemudian di-lakukan uji ukuran partikel dengan menggunakan PSA di Laboratorium Nanotech Serpong. Proses pembuatan bahan penyamak nano nabati terlihat pada Gambar partikel nano pada proses penyamak-an nabatiPartikel nano yang diperoleh dari PBM diap-likasikan dalam proses penyamakan nabati dengan matriks penelitian seperti terlihat pada Tabel 1. Gambar 1. Diagram proses pembuatan bahan pe-nyamak nano UKURAN DENGAN CRUSHER PERENDAMAN 24 JAM AIRKULIT KAYU = 31 PEMBUATAN PARTIKEL NANO DENGAN PBM PENGERINGAN DENGANSPRAY DRIER SERBUK BAHAN PENYAMAK NABATI POTONGAN KULIT KAYU AKASIA Uji Kadar Tanin & Ukuran Partikel POTONGAN KULIT KAYU AKASIA TERTIMBANG 5 KG BAHAN PENYAMAK NANO NABATI Jenis bahan penyamakPersentase bahan penyamak15% 20% 25%Nano vegetable tanning materials ENEN15 EN20 EN25Cairan ekstrak akasia L L15 L20 L25Mimosa sebagai kontrol M M15 M20 M25Tabel 1. Matriks aplikasi nano vegetable tanning materials untuk penyamakan kulit. 18MAJALAH KULIT, KARET, DAN PLASTIK Vol. 31 No. 1 Juni Tahun 2015 15-22Untuk menentukan kadar dan jenis bahan penyamak terbaik diuji berdasarkan derajat pe-nyamakan, suhu kerut, kuat tarik, dan DAN PEMBAHASANIdentikasi Kulit Kayu AkasiaIdentikasi kulit kayu akasia meliputi pengu-jian kadar air dan kadar total larut dilaksanakan menurut SNI 06-6051-1999. Hasil identikasi 2 jenis ukuran kulit kayu akasia yang akan diekstrak disampaikan pada Tabel nilai kadar air, maka ukuran kulit kayu akasia kasar menunjukkan nilai kadar air lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena pengecilan ukuran menguapkan air yang ada di jaringan kayu. Pengecilan ukuran menjadi serbuk halus berukuran 60 mesh menyebabkan luas permukaan kulit kayu akasia lebih luas. Akibatnya terjadi penguapan yang lebih besar sehingga kadar airnya kecil. Adapun kadar total larut dan ekstrak pada pada kulit kayu akasia halus lebih rendah karena ukuran kulit kayu lebih kecil sehingga jumlah bahan yang dapat diekstrak dan dilarutkan lebih sedikit, akibatnya nilai kadar ekstrak dan total larut lebih rendah dibanding kulit kayu akasia ukuran kasar pada berat kulit kayu akasia yang sama. Terlihat bahwa kadar total larut ukuran halus 90,71% dan ukuran kasar 95,72%, sementara kadar total ekstrak ukuran halus 150,51 g/kg dan ukuran kasar 136,15 g/ Ekstraksi Zat Penyamak dari Kulit Kayu AkasiaProses ekstraksi zat penyamak dari kulit kayu akasia dengan sistem counter current mengguna-kan air dengan suhu awal 80oC dilanjutkan dengan ekstraksi menggunakan air pada suhu kamar; ukur-an partikel babakan halus 60 mesh ± 3 mm dan ukuran partikel babakan kasar p=16,7 mm, l=4,7 mm, t=1,8 mm. Perbandingan kulit kayu akasia dengan pelarut sebesar 13; dan waktu ekstraksi 24 jam. Hasil ekstraksi berupa cairan kental berwarna coklat kehitaman dengan densitas 6oBe. Cairan ini kemudian diuapkan dalam waterbath hingga dida-patkan densitas 9-10oBe yang siap untuk dispray dryer. Hasil ekstrasi zat penyamak dari kulit kayu akasia seperti pada Tabel pelaksanaan ekstraksi 2 jenis ukuran kulit kayu akasia dan data hasil ekstraksi seperti pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa cairan ekstrak yang diperoleh mempunyai jumlah ekstrak yang hampir sama yaitu 3,8 liter dan 3,7 liter dengan densitas 9-10ÂșBe. Cairan ekstrak babakan ha-lus maupun kasar menunjukkan hasil yang tidak terlalu berbeda. Ini berarti bahwa cairan ekstrak dapat tertiriskan relatif baik, untuk ukuran halus maupun kasar. Proses Puderisasi Ekstrak Babakan Kulit Kayu Akasia dengan Spray DryerProses puderisasi ekstrak kayu akasia dilaku-kan dengan menggunakan spray dryer. Selanjut-Tabel 2. Hasil identikasi dari 2 jenis ukuran kulit kayu identikasi Kulit kayu akasia ukuran halus Kulit kayu akasia ukuran kasarUkuran babakan 60 mesh ± 3 mm p=16,7 mm; l=4,7 mm; t=1,8 mmKadar air 11,76% 15,17%Kadar total larut 90,71% 95,72%Kadar total ekstrak 150,51 g/kg 136,15 g/kgTabel 3. Hasil ekstraksi dari 2 jenis ukuran kulit kayu akasia. Ukuran babakan kulit kayu akasia Jumlah kulit kayu akasia kgJumlah cairan ekstrakliterBabakan halus 60 mesh ± 3 mm5 kg 3,8 liter; 9-10ÂșBeBabakan kasar p=16,7 mm, l=4,7 mm, t=1,8 kg 3,7 liter; 9-10ÂșBe 19PEMBUATAN BAHAN PENYAMAK NANO ..................................... Herminiwati et al.nya dari puder bahan penyamak nabati dari kulit kayu akasia dilakukan pengujian kadar tanin. Ha-sil puder dari ekstrak kulit kayu akasia dan kadar tanin dapat dilihat pada Tabel Tabel 4 dapat diketahui bahwa jumlah ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi nilainya hampir sama tetapi kadar tanin dari ukuran baba-kan kasar lebih tinggi dibandingkan kadar tanin dari ukuran babakan halus. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya kadar total larut dan ekstrak baba-kan kasar yang lebih tinggi. Maka untuk penelitian dipilih bahwa proses ekstraksi kulit kayu akasia dilakukan dengan ukuran babakan kasar yaitu 16,7 mm x 4,9 mm x 1,8 mm karena kadar tanin yang dihasilkan lebih besar dan prosesnya lebih seder-hana dalam penyiapan kulit kayu akasia. Suhu air pada awal ekstraksi 80oC, untuk proses ekstraksi selanjutnya pada suhu kamar. Perbandingan kulit kayu akasia air adalah 13 dengan pertimbangan kulit kayu dapat terendam dengan baik. Proses puderisasi dilakukan dengan alat spray dryer ka-rena jika dilakukan dengan proses pengeringan menggunakan oven memerlukan waktu lama dan tidak e Bubuk Puder dengan Spray Dryer dan Pengujian Kadar TaninDari hasil pembuatan bahan penyamak na-bati yang berbentuk puder dari kulit kayu akasia, kemudian diuji kadar tanin dengan menggunakan metode SNI 06-6051-1999 Cara uji bahan penya-mak Tabel 5 dapat diketahui bahwa kadar ta-nin pada puder bahan penyamak nabati penelitian sebesar 53,656 % , dan hal ini menunjukkan bahwa mutu bahan penyamak nabati penelitian setingkat dengan bahan penyamak nabati impor Mimosa puder dengan kadar tanin sebesar 53,51%.Pembuatan Bahan Penyamak Nano Nabati dan Pengujian Ukuran Partikel Pembuatan partikel nano dari bahan penya-mak nabati puder dilakukan dengan menggunakan sistem PBM dan selanjutnya dilakukan pengujian ukuran partikel dengan PSA. Hasil nano nabati yang dibuat tertera pada Tabel hasil uji ukuran partikel dari ba-han penyamak nabati berupa ekstrak cair masih mempunyai ukuran partikel tinggi sebesar 858,7 nm. Setelah dikeringkan dengan spray dryer ter-jadi penurunan ukuran menjadi 312 nm. Untuk membuat partikel nano maka dilakukan pengecil-an ukuran dengan PBM sehingga diperoleh par-tikel dengan ukuran 72,9 nm. Adapun Mimosa pasaran impor meskipun telah mempunyai ukur-an kecil, namun ukuran partikelya masih lebih tinggi dibanding bahan penyamak nanonabati ha-sil penelitian. Tabel 4. Hasil puder dan kadar tanin dari ekstrak kulit kayu kulit kayu akasiaVolume ekstrakliterJumlah puder gramJumlah ampas gramKadar tanin %Ukuran babakan halus 5 kg3,8 162 130 50,71%Ukuran babakan kasar 5 kg3,7 153 78 52,59%Tabel 5. Hasil puderisasi ekstrak kulit kayu penyamak nabati Kadar taninNabati puder penelitian 53,656 %Cairan ekstrak penelitian 65,35 %Mimosa puder ME Brand Ex-tract pasaran buatan Ceko-slowakia53,513 %Tabel 6. Ukuran partikel bahan penyamak bahan penyamak Ukuran partikel, nmMimosa puder pasaran im-por100,5Bahan penyamak nabati pene-litian Hasil spray dryer312,0Bahan penyamak nabati pene-litian hasil PBM72,9Ekstrak liquid 858,7 20MAJALAH KULIT, KARET, DAN PLASTIK Vol. 31 No. 1 Juni Tahun 2015 15-22Aplikasi Bahan Penyamak Nano NabatiBahan penyamak nano nabati dari hasil pe-nelitian diaplikasikan pada proses penyamakan kulit domba. Jumlah pemakaian bahan penyamak nabati dilakukan pada kadar 15%, 20%, dan 25%. Adapun sebagai kontrol digunakan bahan penya-mak nabati impor yang terbuat dari eks-trak kulit kayu akasia yaitu Mimosa puder ME brand ex-tract, dilakukan secara bertahap dalam drum penelitian dengan waktu penyamakan 4 jam pada pH 3,5-4. Untuk menentukan mutu produk dilakukan uji suhu kerut, derajat penyamakan, kuat tarik, dan kemuluran. Hasil aplikasi bahan penyamak nabati ter-hadap suhu pengerutan tertera pada Tabel 7. Ditin-jau dari suhu kerut, maka semua bahan penyamak yang digunakan menunjukkan suhu kerut yang baik. Menurut Duki et al. 2013, suhu pengkerut-an berkisar antara 70-85ÂșC. Pada semua kadar ba-han penyamak mulai dari 15% sampai 25% untuk semua jenis bahan penyamak baik Mimosa ekstrak impor, ekstrak cair kulit kayu akasia dan ekstrak puder nano kulit kayu akasia menunjukkan suhu kerut yang baik. Hal ini berarti bahwa penggunaan kadar bahan penyamak nabati 15% sampai 25% akan memberikan suhu kerut yang tinggi. Suhu pengerutan menunjukkan besarnya zat penyamak yang masuk ke dalam serat kulit sehingga kulit bersifat padat dan lentur atau eksibel. Untuk eks-trak puder nano mulai kadar 15% menunjukkan suhu kerut yang lebih tinggi dibanding ekstrak kulit kayu akasia puder impor maupun ekstrak cair kulit kayu akasia. Adapun ekstrak kulit kayu akasia bentuk puder impor Mimosa memberikan suhu pengerutan lebih rendah dibanding ekstrak puder dengan ukuran partikel nano hasil peneli-tian pada kadar 15%. Hal ini membuktikan bahwa bahan penyamak nabati berukuran nano dapat ter-dispersi lebih baik ke dalam jaringan kulit. Hasil aplikasi bahan penyamak nabati ter-hadap derajat penyamakan tertera pada Tabel 8. Dari hasil uji derajat penyamakan dapat dilihat bahwa berdasarkan analisa statistik pada peng-gunaan berbagai jenis bahan penyamak nabati Mimosa puder impor, ekstrak cair dari kulit kayu akasia dan puder nano nabati kulit kayu akasia dengan kadar masing-masing 15%, 20%, dan 25% menunjukkan hasil derajat penyamakan yang ber-beda nyata p ≀ 0,05. Ditinjau dari nilai derajat penyamakan, maka ekstrak cair kulit kayu akasia 25% memberikan nilai tertinggi sebesar 80,06%. Meskipun ekstrak cair dari kulit kayu akasia memberikan nilai derajat penyamakan yang relatif baik, namun nampak bahwa nilainya tidak konsis-ten. Nilai derajat penyamakannya tidak semakin meningkat dengan makin banyaknya kadar bahan penyamak yang digunakan. Hal ini tidak seperti bahan penyamak ekstrak nano nabati yang dibuat. Derajat penyamakan merupakan indikator ba-nyaknya tanin yang masuk/terikat pada kulit se-hingga menjadi masak lemas/eksibel meski dalam keadaan kering. Kalau kulit tidak masak, tetap kaku walau diberi minyak karena minyak tidak bisa masuk. Dibanding Mimosa puder impor, maka ekstrak Tabel 7. Hasil uji suhu pengerutan dari bahan pe-nyamak bahan penyamakKadar bahan penyamak%Suhu pengerutanÂșCM 15 73 g20 80 d25 79 eL 15 77 f20 85 a25 85 aEN 15 82,5 c20 84 b25 84 bKeterangan angka-angka sekolom diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada α=5%.Tabel 8. Hasil uji derajat penyamakan dari bahan penyamak bahan penyamakKadar bahan penyamak%Derajat Penyamakan%M 15 47,51g20 70,64 e25 64,69 fL 15 76,94 c20 75,43 d25 80,06 aEN 15 76,32 c20 78,66 b25 79,65 aKeterangan angka-angka sekolom diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada α=5%. 21PEMBUATAN BAHAN PENYAMAK NANO ..................................... Herminiwati et al.nano hasil penelitian mempunyai derajat penya-makan yang lebih baik. Hal ini dapat disebabkan karena ukuran partikel nano dari bahan penyamak yang dihasilkan rata-rata lebih kecil sebesar 72,9 nm dibanding Mimosa puder impor yang rata-rata berukuran partikel 100,5 nm. Akibatnya dispersi tanin ke dalam jaringan kulit yang disamak lebih mudah dan lebih baik sehingga derajat penyama-kannya lebih tinggi. Berdasar SNI 06-0237-1989 Kulit lapis kambing/domba, maka derajat penyamakan un-tuk kulit samak nabati ditetapkan sebesar minimal 50%. Ditinjau dari derajat penyamakan maka ba-han penyamak nano nabati menunjukkan derajat penyamakan yang baik dan memenuhi persyarat-an. Makin tinggi kadar bahan penyamak nano nabati yakni sampai kadar 25%, menunjukkan nilai yang semakin meningkat. Sebaliknya ekstrak cair penyamak nabati nilainya tidak konsisten se-iring dengan peningkatan kadar bahan penyamak. Keadaan ini membuktikan bahwa penggunaan se-cara konvensional bahan penyamak nabati secara ekstrak cair memberikan mutu yang tidak kon-sisten, selain itu juga tidak praktis karena harus mengekstrak kulit kayu akasia terlebih dulu untuk mendapatkan taninnya. Menurut Purnomo 1985, pembuatan ekstrak puder kulit kayu akasia di luar negeri dilakukan dengan cara memekatkan ekstrak kulit kayu aka-sia hingga densitas 23-25oBe dilanjutkan penge-ringan dalam karung sehingga didapatkan bong-kahan kering. Penggunaan suhu yang tidak terlalu tinggi menyebabkan tanin tidak mengalami pe-rubahan sehingga mudah larut dalam air. Dari Tabel 9 nampak bahwa bahan penyamak nano nabati dari kulit kayu pohon akasia mem-berikan hasil terbaik. Penggunaan 25% serbuk nano nabati memberikan nilai kuat tarik tertinggi sebesar 27,04 kg/cm2. Hal ini membuktikan bah-wa bahan penyamak nano nabati dapat terdispersi dengan lebih baik dan merata ke dalam jaringan kulit. Akibatnya kulit yang disamak dengan bahan penyamak nano nabati lebih kuat dan padat. Kemuluran kulit yang disamak dengan ba-han penyamak nano nabati juga memberikan hasil yang baik dan tidak berbeda nyata dengan bahan penyamak lainnya, kulit tidak keras dan getas. Bahan penyamak nabati yang berupa tanin da-pat berikatan dengan kolagen pada jaringan kulit membentuk ikatan silang dengan struktur seperti terlihat pada Gambar berikatan dengan gugus-gugus aktif seperti hidroksil, karboksil dan grup amino di kolagen dalam jaringan kulit. Ikatan-ikatan yang terbentuk mengakibatkan kulit menjadi kuat dan padat. Bahan penyamak nano nabati menunjukkan nilai kuat tarik dan kemuluran yang baik diband-ing bahan penyamak nabati Mimosa impor dan ekstrak cair kulit kayu dari tingkat kemasakan kulit dan kekuatannya, maka penggunaan bahan penyamak nabati dengan partikel nano sebesar 25% mem-berikan hasil terbaik. KESIMPULAN Telah dihasilkan bahan penyamak nano naba-ti dengan ukuran partikel rata-rata 72,9 nm. Pem-buatan bahan penyamak nano nabati dilakukan melalui tahapan pengecilan ukuran kulit kayu aka-sia, ekstraksi tanin, puderisasi dengan spray dryer, dan pengecilan ukuran partikel dengan planetary ball penyamak nabati sangat diperlukan karena adanya tuntutan baik produk maupun Tabel 9. Hasil uji kuat tarik dan kemuluran dari bahan penyamak Perpanjangan,%Kuat tarik,kg/cm2M25 52,00 14,98M20 48,00 11,46M15 43,33 16,94L25 40,00 16,78L20 49,33 11,31L15 57,33 19,26EN25 50,00 27,04EN20 48,67 25,58EN15 49,33 14,40Gambar 2. Ikatan silang yang terjadi antara tanin dan kolagen jaringan kulit Hsu, 2013.kolagen 22MAJALAH KULIT, KARET, DAN PLASTIK Vol. 31 No. 1 Juni Tahun 2015 15-22proses yang ramah lingkungan dikarenakan bahan penyamak krom yang umumnya digunakan me-nimbulkan pencemaran lingkungan berupa limbah aplikasinya untuk penyamakan kulit diperoleh hasil bahwa bahan penyamak nano na-bati puder memberikan hasil lebih baik dibanding ekstrak cair kulit kayu akasia dan mimosa impor. Dengan pemakaian bahan penyamak nano nabati 25% diperoleh hasil kulit jadi dengan kuat tarik terbaik sebesar 27,04 kg/cm2 dan kemuluran sebe-sar 50%, suhu kerut sebesar 84oC serta derajat pe-nyamakan sebesar 79,65%. Bahan penyamak nano nabati puder yang dihasilkan dapat mensubstitusi bahan penyamak nabati TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik atas izin penggunaan fasilitas penelitian dan kepada semua hak yang telah membantu proses, pengu-jian, dan pembahasan penelitian PUSTAKAAlbet, R. 2013. Cara penyamakan kulit ramah ling-kungan. Jakarta, Indonesia Badan Pengendalian Dampak J. 2011. Dasar teknologi dan kimia kulit. Bandung, Indonesia Badan Standardisasi Nasional. 1989. Standar Nasional Indonesia SNI 06-0237-1989 Kulit la-pis kambing/domba. Jakarta, Indonesia Badan Standardisasi Nasional. 1999. Stan-dar Nasional Indonesia SNI 06-6051-1999 Cara uji bahan penyamak nabati. Jakarta, Indonesia A., Antunes, A. P. M., Covington, A. D., & Guthrie-Stachan, J. 2013. The stability of metal-tanned and semi-metal tanned collagen. In XXXII Congress of IULTCS. Istanbul, Turkey M. A., Palmina, K., Gurashi, A. G., & Anthony C. 2012. Potential of vegetable tanning materials and basic aluminum sulphate in Sudanese Leather Industry Part II. Suranaree Journal of Science and Technology, 191, J. H. 2013. Eco-friendly and innovative polymer topic The dyeing levelness for buffed leather by using amphoteric polymer agent. In XXXII Congress of IULTCS. Istanbul, Turkey P. 2013. Penelitian pembuatan kulit jaket ramah lingkungan menggunakan bahan penyamak nabati Laporan Penelitian. Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Indonesia. Purnomo, E. 1985. Pengetahuan dasar teknologi penyamakan kulit. Yogyakarta, Indonesia Akademi Teknologi K. J., Marimuthu N., Rathinam A., & Balachandran U. N. 2013. Green synthesis of monodispersed iron oxide nanoparticles for leather nishing. In XXXII Congress of IULTCS. Istanbul, Turkey O., Covington, A. D., & Evans, C. S. 2011. Teknologi baru penyamakan kulit ramah lingkungan penyamakan kombinasi menggunakan penyamak nabati, naftol dan oksazolidin. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 182, N. 2009. Pembuatan nanopartikel dalam perspektif high energy milling. Dalam Workshop Nanoteknologi. Tangerang, Indonesia Puspiptek BPPT. Valeika, V., Sirvaityte, J., & Beleska, K. 2010. Esti-mation of chrome free tanning method suitability in conformity with physical and chemical proper-ties of leather. Materials Science Medzigotyra, 164, 330-338. ... Several studies on extracts of tannins from plants as tanning agents have been carried out including [8,11,[15][16][17][18]. The tanning material consists of tannins, non-tannins, and other waterinsoluble compounds [19]. The effectiveness of vegetable tanning agents can be done through the extraction of tannins. ...... Thus, tannins can be extracted using water as a solvent. [19] Tannins found in acacia bark can be obtained through the extraction process. Various tannin extraction methods have also been reported including the water bath method, with autoclave, reflux, and Microwave-assisted extraction MAE with the aim of short extraction time, use of a small amount of solvent, higher extract yield, and lower costs [8,12,13,21,22]. ...... Identification of compounds from the bark of showed high yields, namely phenyl phenol Based on the retention time, the compound that appeared first in [19]. [33] Tannins are polyphenolic macromolecular compounds that can form complexes with metal ions, thus enabling them to be used as corrosion inhibitors on metals. ...Sri Mutiar Anwar KasimVegetable tanning materials are sourced from plants that contain tannin compounds. Tannins are obtained through the extraction method from the roots, stems, bark, or fruit of the original plant. There are several forest management companies in Indonesia that produce wood from plant species Acacia auriculiformis and Acacia mangium. Both species are known as Acacia. Acacia is an important source of tannin for material tanner vegetables. This wood is produced as a raw material for the pulp and paper industry. However, the bark contains tannin and has not been used optimally. Therefore, the study's potential and possible applications as vegetable tanning agents have been carried out. The research was started by investigating the availability of bark and extracting tannins to obtain extracts containing tannins. Furthermore, the extract obtained was applied as a vegetable tanning agent for the goatskin tanning process. The results showed that the bark of the Plant Industry Forest has the potential to be developed as a source of tannins for material vegetable tanning agents. The application of acacia bark extract in goatskin tanning has obtained tanned leather that meets the Indonesian National Standard.... Sifat dari tanin terhidrolis menjadi glikon dan aglikon. Bentuk glikosida tanin yaitu larut dalam air, mengendap pada logam berat serta protein [3]. Kedua sifat dari tanin mempengaruhi cara ekstraksi serta pengenalan senyawanya [4]. ...... Saat ini konsumen produk kulit khususnya produk kulit ekspor mengarah pada permintaan kulit samak nabati, dengan pertimbangan produknya yang ramah lingkungan. Bahan penyamak nabati secara luas digunakan untuk proses penyamakan ulang pada produksi kulit upper leather dari kulit sapi, kambing, dan domba [1]. ...... Pada umumnya samak kombinasi menggunakan bahan penyamak nabati seperti mimosa, kayu akasia, kayu bakau dan kayu tingi Cahyo et al., 2016;Herminiwati et al., 2015;Kasmudjiastuti, 2014;Ramadhan et al., 2016. Namun penggunaan mimosa juga akhirnya menjadi permasalahan, karena mimosa merupakan barang impor yang cukup mahal Kasim et al., 2013. ...Ardinal ArdinalSalmariza SyPenelitian penyamakan kulit dengan memanfaatkan air limbah pengolahan gambir telah dilakukan. Penelitian dilakukan dengan variasi persentase penambahan tawas dan tunjung sebagai mordan masing-masing 0%, 2%, 4% dan 6% kedalam limbah cair pengolahan gambir. Penambahan tawas dan tunjung dilakukan pada penyamakan tahap II. Pengamatan terhadap kulit tersamak meliputi tampilan warna kulit yang dihasilkan, dan analisis sifat kimia dan sifat fisika kulit tersamak dengan mengacu kepada SNI 0463- 1989-A. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemakaian tawas dan tunjung sebagai mordan berpengaruh terhadap warna kulit tersamak. Pemakaian tawas memberikan warna kuning kemerahan sedangkan pemakaian tunjung memberikan warna hitam kehijauan pada kulit yang tersamak. Pemakaian tawas memberikan sifat kimia dan sifat fisika kulit yang lebih baik dari pada pemakaian tunjung. Hasil uji menunjukkan bahwa pemakaian tawas memberikan kelarutan tannin dalam air yang lebih rendah, kadar kulit mentah yang lebih kecil, tannin terikat lebih tinggi, kekuatan tarik lebih tinggi, kekuatan lentur/kemuluran yang lebih rendah dibanding dengan perlakuan pemakaian tunjung. Perlakuan persentase pemberian tawas lebih berpengaruh terhadap sifat fisik kekuatan tarik dan kekuatan lentur kulit tersamak. Semakin tinggi persentase tawas, maka semakin tinggi kekuatan tarik dan sebaliknya semakin rendah kekuatan lentur. Perlakuan optimum didapatkan pada penambahan tawas 2%.ABSTRACTSkin tanning research has been carried out by utilizing gambier processing wastewater. The study was conducted with a variation of the percentage of alum and tunjung addition as mordant respectively 0%, 2%, 4% and 6% into gambier processing wastewater. The addition of alum and tunjung is carried out in the tanning phase II. Observation of tanned skin includes the appearance of the resulting skin color, and the analysis of chemical and physical properties of tanned skin with reference to SNI 0463-1989-A. The results showed that the treatment of alum and tunjung as mordant affected the tanned skin color. The treatment of alum as mordant gave a reddish yellow color while the use of tunjung gave a greenish black color to the tanned skin. The use of alum gives the chemical and physical properties of the skin better than the use of tunjung. The test results show that the use of alum provides lower tannins solubility in water, lower raw skin content, higher tannin bound, higher tanning levels, higher tensile strength, higher flexural strength / elongation strength compared to the treatment of using tunjung. The percentage treatment of alum is more influential on the physical properties of tensile strength and flexural strength of tanned skin. The higher the percentage of alum, the higher the tensile strength, on the other hand the lower the flexural strength. The optimum treatment was obtained at 2% addition of ini bertujuan untuk mengetahui kandungan tanin dan metode ekstraksi terhadap karakteristik dan kadar tanin dari kulit kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. Kulit kayu diperoleh dari HTI PT. Arara Abadi. Metode ekstrak yang digunakan water bath, ultrasonic bath, autoclave, refluks dan microwave. Ekstrak tanin yang dihasilkan diaplikasikan sebagai bahan penyamak nabati. Ekstrak yang digunakan adalah rendemen tertinggi dari metode yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen tertinggi diperoleh dengan metode autoclave yaitu 29,65%. Hasil analisis kimia dari ekstrak yang dihasilkan kadar tanin adalah 52,79%, bahan larut air 62,40%. Aplikasi ekstrak tanin sebagai bahan penyamak nabati menggunakan kulit kambing dilakukan analisis kimia, pengamatan sifat fisik dan organoleptis. Kualitas kulit tersamak ditinjau dari sifat kimia diantaranya kadar air 15,02%, kadar lemak 3,20%, kadar abu 3,44%, kadar zat larut air 3,57%, kadar zat kulit mentah 43,79%, kadar tanin terikat 30,98% dan derajat penyamakan 70,74%. Pengamatan sifat fisik kulit tersamak yaitu kekuatan tarik 254,21 kg/cm2, kemuluran 63,95%, ketahanan zwik/keretakan 9,27 mm nerf tidak pecah, ketebalan 0,9 mm, warna coklat. Ekstrak kulit kayu A. auriculiformis mengandung tanin dan berpotensi untuk digunakan sebagai bahan penyamak metal tanning and semi-metal tanning potency of the first row transition metals was studied using hide powder. Transition metals show different levels of synergistic hydrothermal stabilisation in semi-metal tanning. Measurement of hydrothermal stability was carried out regularly in order to monitor the stability and permanence of tanning interactions in metal tanned and semi-metal tanned leathers. The results indicate that the physico-chemical properties of leather can be altered as a result of redox interactions, in which certain transition metals play the role of a catalyst. The extent of metal catalysed oxidative degradation of leather can proceed to the extent of complete destruction of the tanning matrix as well as the collagen itself. A proposed mechanism of metal catalysed autodegradation in semi-vanadium IV leather is discussed with regard to experimental results and a review of earlier research on the interaction of vanadium salts with phenolic compounds. Virgilijus ValeikaJusta Ć irvaitytėKestutis BeleskaThe change of tanning parameters reflects on leather chemical and physical properties. The standardized determination methods of more important for customers leather indexes do not allow absolutely clear to conclude about suitability of developed tanning method for leather processing. Due to this DSC analysis and IR spectroscopy were employed as additionally analyses methods for the clarification of tanning process influence on leather qualitative properties. During research established structural characteristics of variously tanned leather show how differently tanning materials join to derma collagen and prove that content of linked tanning materials is not most important factor, which ordains the thermo stability of collagen, in the case of chrome-free tanning. The results of DSC and IR-spectroscopy clarify the data obtained by other investigation methods and allow more exactly estimation of the tanning method suitability for leather processing. It was established that variation of vegetable tannins in tanning recipe influences on leather properties and best results are obtained using mimosa pressures on chromium have now forced the leather industry to look for possible alternatives. A vegetable- aluminum combination tannage has been studied, with special attention being given to intended final product. Aluminum is mineral tanning agents that are widely used to stabilize collagens in the leather industry. In this study, the crosslinking of vegetable and aluminum, with collagens, have been explored. This kind of chrome free tannage give us leathers with shrinkage temperature around 125oC, elongation at break tensile strength 38 N/mm2, and tear strength 98 N/mm. The chemical properties of the combination tanned leathers are found to be quite normal. Among the combination system evaluated, a vegetable pretannage followed by retannage with basic aluminum sulphate was found to produce stronger leather with the durable characteristics. In contrast, pre-tanning with aluminum possibly tightens the collagen fiber network, preventing high molecular weight vegetable tannins from interacting with collagen fibres. Optimal results were obtained when 10% w/w vegetable tannins garad and 2% Aluminum sulphate was worldwide, including leather, have had to phase out pigments based on lead, chromiumVI, cadmium etc. due to the toxicity associated with these transition metal ions. Coupled to this phase out is also a need to enhance the functional properties of the otherwise safe pigments, with low use, so as to avoid wastage. In this direction, the use of nano-pigments is slowly coming into vogue. This paper explores the advantages of replacing an otherwise popular brown pigment - the hematite α-Fe2O3 with nanosized oxides in leather finishing. Any synthesis methodology for nanoparticles is sustainable only when green methods are employed for their synthesis. This work takes adequate care in employing an environmentally friendly methodology based on biocompatible polysaccharide - starch as a template. The advantages of this method, such as the monodisperse character of the oxide, low particle size, ability of the carbon residue from the template to aid easy homogenization of the pigment to the finish formulation have resulted in excellent covering of surface, improved levelness, no overloading of grain, excellent physical properties and ageing penyamakan kulit ramah lingkunganR AlbetAlbet, R. 2013. Cara penyamakan kulit ramah lingkungan. Jakarta, Indonesia Badan Pengendalian Dampak teknologi dan kimia kulitJ ArdhianyArdhiany, J. 2011. Dasar teknologi dan kimia kulit. Bandung, Indonesia Nasional Indonesia SNI 06-0237-1989 Kulit lapis kambing/dombaBSN Badan Standardisasi Nasional. 1989. Standar Nasional Indonesia SNI 06-0237-1989 Kulit lapis kambing/domba. Jakarta, Indonesia Nasional Indonesia SNI 06-6051-1999 Cara uji bahan penyamak nabatiBSN Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia SNI 06-6051-1999 Cara uji bahan penyamak nabati. Jakarta, Indonesia and innovative polymer topic The dyeing levelness for buffed leather by using amphoteric polymer agentJ H HsuHsu, J. H. 2013. Eco-friendly and innovative polymer topic The dyeing levelness for buffed leather by using amphoteric polymer agent. In XXXII Congress of IULTCS. Istanbul, Turkey pembuatan kulit jaket ramah lingkungan menggunakan bahan penyamak nabati Laporan PenelitianP PrayitnoPrayitno, P. 2013. Penelitian pembuatan kulit jaket ramah lingkungan menggunakan bahan penyamak nabati Laporan Penelitian. Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Indonesia.

bahan bahan pembuatan extacy